MENU

TA'RIIFU NAFSII

My photo
Call me "James". I was taught and trained since childhood by my parents to be a strong and broad-minded and the adventurous life since childhood I go abroad and learn all the essence of life on earth 'now, I'm still studying in Yogyakarta UIN Sunan Kalijaga INDONESIA.He he,,!

Friday, January 7, 2011

MUHKAM DAN MUTASYABBIHAT

“Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepadamu. Diantara (isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain mutasyaabihaat.”
(QS. Ali Imran [3] : 7)

MUHKAM DAN MUTASYABIHAT

A. Pengantar Awal
Al-Qur’an turun dengan gaya bahasa yang berbeda-beda dengan kandungan makna yang tetap satu. Ayatnya ada yang bersifat umum & samar-samar yang memberikan peluang untuk para mujtahid berkreasi menggali hukum. Namun ada yang bermakna tegas sehingga menutup kemungkinan ijtihad disana. Oleh itulah kita mengenal adanya ayat mutasyabihat & muhkamat. Berikut ini akan dipaparkan pengertian dari kedua istilah itu.
Pengertian Umum
Muhkam berasal dari kata al-hukm yang berarti memutuskan antara dua hal atau perkara. Muhkam berarti (sesuatu) yang dikokohkan. Ihkam al-kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah & urusan yang lurus dari yang sesat. Jadi kalam muhkam berarti perkataan yang seperti itu sifatnya. Maka Allah SWT mensifati Al-Qur’an seluruhnya adalah muhkam. Firman Allah SWT:
الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ ءَايَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
“Alif Lam Ra. (Inilah) sebuah kitab yang ayat-ayatnya di-muhkam-kan, dikokohkan kemudian dijelaskan, diturunkan dari sisi (Alllah) Yang Maha Bijaksana Lagi Maha Tahu.” (Hud [11] : 1)
Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syubhah ialah keadaan dimana salah satu dari hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain. Karena adanya kemiripan diantara keduanya secara konkrit maupun abstrak. Maka Allah SWT mensifati Al-Qur’an seluruhnya adalah mutasyabihat, maksudnya Al-Qur’an itu sebagian kandungannya serupa dengan sebagian yang lain dalam kesempurnaan & keindahannya, dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya. Firman-Nya :
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ ...
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, …” (Az-Zumar [39]: 23)[1]
Pengertian Khusus
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an & yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Ali Imran [3] : 7)
Dari ayat ini kita ketahui bahwa ayat Qur’an itu ada yang muhkamat ada yang mutasyabihat. Imam Suyuthi[2] memaparkan lima pendapat yang mendefenisikan kata muhkamat & mutasyabihat :
1. Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara nyata ataupun melalui ta’wil sedangkan mutasyabihat adalah ayat yang hanya diketahui oleh Allah SWT seperti masalah kiamat, munculnya Dajjal & potongan huruf-huruf hija’ diawal surah.
2. Muhkam adalah ayat yang jelas maknanya & mutasyabihat adalah ayat yang tidak jelas maknanya.
3. Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu pena’wilan & mutasyabihat adalah ayat yang mengandung beberapa kemungkinan pena’wilan.
4. Muhkam adalah ayat yang berdiri sendiri & mutasyabihat adalah ayat tidak sempurna pemahamannya kecuali dengan merujuk kepada ayat yang lainnya.
5. Muhkam adalah ayat yang tidak dihapuskan & mutasyabihat adalah ayat yang sudah dihapuskan.
Dr. Abdurrahman Al-Bagdadi[3]mengatakan bahwa muhkam adalah ayat yang nampak jelas maknanya & tidak ada kemungkinan pemahaman yang lain. Contohnya :
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا …
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat) : Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli & mengharamkan riba. ….” (QS. Al-Baqarah [2] : 275)
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Laki-laki yang mencuri & perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan & sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Ma’idah [5] : 38)
Sedangkan mutasyabihat adalah ayat yang mengandung makna lebih dari satu baik dengan sudut pandang yang sama maupun berbeda. Contoh yang dengan sudut pandang sama adalah :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ...
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. ...” (QS. Al-Baqarah [2] : 228)
... اَو يَعفُوَ االَّذِ ي بِيَدِ هِ عُقدَهٌ النِّكَاح ...
“… atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, …” (QS. Al-Baqarah [2] : 237)
... أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ ...
“… atau kamu telah menyentuh perempuan, …” (QS. An-Nisa’ [4] : 43)
Sedangkan contoh yang dengan sudut pandang berbeda adalah :
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran & kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman [55] : 27)
... وَ نَفَختُ فِيهِ مِن رُّوحِي ...
“…, dan telah meniupkan kedalamnya ruh(ciptaan)-Ku, …” (QS. Al-Hijr [15] : 29)
... اَنَّا خَلَقنَا لَهُم مِّمَّا عَمِلَت اَيدِينَآ اَنعَامًا ...
“… sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak bagi mereka yaitu sebagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan tangan Kami sendiri, …” (QS. Yaasiin [36] : 71)
اللهُ يَستَهزِئُ بِهِم ...
“Allah akan (membalas) olok-olok mereka …” (QS. Al-Baqarah [2] : 15)
... وَمَكَرَ اللهِ ...
“… dan Allah (membalas) tipu daya …” (QS. Ali Imrtan [3] : 54)
وَالسَّموتُ مَطوِيّتٌ بِيَمِينِه ...
“… dan langit digulung dengan tangan-Nya …” (QS. Az-Zumar [39] : 67)
Dan menurut saya, inilah kiranya pendapat terkuat yang dapat kita dipegang.
Ulama memberi contoh ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat nasikh, ayat-ayat tentang halal, haram, hudud, kewajiban, janji & ancaman. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat mansukh, ayat-ayat tentang Asma’ Allah & sifat-sifatnya, huruf-huruf hija’iyah diawal surah, hakikat hari kemudian serta ‘ilmus sa’ah.[4]

Huruf Hijaiyah
As-Suyuthi[5]mengatakan bahwa huruf hijaiyah termasuk rahasia yang hanya diketahui Allah SWT. Sekalipun demikian ada beberapa ulama yang mencoba mengungkapnya.
Ibn Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa ayat-ayat pembuka surat pun tentu saja memiliki makna. Seandainya kita terpelihara dari berbuat kesalahan niscaya kita akan dapat mengungkapkan maknanya.[6] Diantaranya maknanya :
1. Merupakan nama-nama Allah SWT. Ini berdasarkan dari riwayat Yang dikeluarkan Ibnu Jurair dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Ia (huruf hijaiyah) adalah nama Allah yang terbesar.” Juga riwayat lainnya dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Alif lam mim, tha sin mim, min nun dan yang serupa adalah sumpah yang dengannya Allah bersumpah, yaitu termasuk nama-nama Allah.”
2. Merupakan nama-nama Al-Qur’an.
3. Merupakan nama-nama Surat. Abdurrahman Al-Bagdadi[7], mengatakan bahwa huruf mu’jam diawal surah merupakan nama surah. Karena dalam istilah ulama ilmu nahwu ia adalah apa yang menunjukkan makna terhadap yang lainnya & jika tidak bergandengan dengan yang lain maka tidak ada maknanya. Dan dalam huruf-huruf mu’jam yang terdapat diawal surat sungguh bergandengan dengan huruf yang lain.
4. Merupakan peringatan sebagaimana didalam panggilan, tetapi ia tidak memakai kata-kata biasa. Karena Al-Qur’an adalah kalam yang berbeda dengan kalam yang lainnya.
5. Menunjukkan bahwa Al-Qur’an disusun dari huruf-huruf yang diketahui & dikenal orang Arab, sebagai penggugah & bukti ketidakmampuan mereka menirunya walaupun huruf yang dipakai Al-Qur’an telah mereka ketahui & kenali.

B. Mungkinkah Mengetahui Ayat Mutasyabihat
As-Suyuthi[8] mengatakan bahwa ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, karena perbedaan dalam memahami QS. Ali Imran [3] : 7. Golongan pertama menjadikan ‘wawu’ pada kata ‘dan orang yang mendalam ilmunya’ (وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ) sebagai isti’naf (permulaan kalimat) & golongan kedua mengatakan ‘wawu’ sebagai huruf ataf (kata sambung) bukannya istinaf.
Golongan pertama diikuti oleh Ubai bin Ka’ab, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, sejumlah shahabat, tabi’in & lainnya. Golongan kedua dipelopori oleh Mujahid. Mengenai Mujahid ini As-Sauri berkata, “Jika datang kepadamu tafsir Mujahid, maka cukuplah tafsir itu bagimu.” Pendapat ini juga dipilih oleh Imam An-Nawawi.[9]
 Golongan Pertama
Pendapat golongan pertama didukung oleh argumentasi :
1. Riwayatkan oleh Hakim dalam Mustadrak yang bersumber dari Ibnu Abbas yang membaca QS. Ali Imran [3] : 7 dengan mendahulukan kata yakuulu atas rasikhuuna, sehingga berbunyi :
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَ يَقُولُوالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ ءَامَنَّا بِهِ
“… padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah dan berkata orang-orang yang mendalam ilmunya : Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat…”
2. Adanya qira’at Ibn Mas’ud untuk QS. Ali Imran [3] : 7 yang menjelaskan bahwa hanya Allah SWT yang tahu takwilnya.[10]
وَإِنَّ تَأوِيلُهُ إِلاَّ عِندَ اللَّهِ وَ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ
“… Dan sesungguhnya takwilnya hanya pada sisi Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat…”
3. QS. Ali Imran [3] : 7 yang mencela orang yang mengikuti ayat mutasyabihat & mensifatinya sebagai orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan & berusaha menimbulkan fitnah.
4. Adanya nash-nash hadits yang melarang & memandang buruk orang yang mencari arti ayat-ayat mutasyabihat, diantaranya :
a. Dari Amir bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya dari Rasulullah SAW, ia bersabda :
“Sesungguhnya Al-Qur’an tidak diturunkan agar sebagiannya mendustakan yang lain, apa yang kamu ketahui darinya maka kerjakanlah & apa yang mutasyabih hendaklah kamu yakini.” (Dikeluarkan oleh Ibn Mirdawaih)
b. Riwayat Sulaiman bin Yasar yang dikeluarkan Al-Daramiy yang menceritakan bahwa Abdullah bin Shabigh dipukul Umar ra dengan pelepah korma hingga kepalanya berdarah karena datang ke Madinah untuk bertanya tentang mutasyabih Al-Qur’an. Lalu Umar ra menulis kepada Abu Musa Al-Ansy’ari ra agar tidak boleh seorangpun dari kaum muslimin bergaul dengan Abdullah bin Shabigh.
c. Dari Aisyah berkata, “Rasulullah membaca ayat ini (QS. Ali Imran : 7) Kemudian berkata :
“Apabila kamu melihat orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat, mereka itulah yang disinyalir Allah SWT (QS. Ali Imran [3] : 7). Maka waspadalah terhadap mereka” (HR. Bukhari, Muslim & lainnya)
 Golongan Kedua
Pendapat golongan kedua didukung dengan argumentasi :
1. Mujahid berkata, “Saya telah membacakan mushaf kepada Ibn Abbas mulai dari Al-Fatihah sampai tamat. Saya pelajari sampai paham setiap ayatnya & saya tanyakan kepadanya tentang tafsirnya.”
2. Imam An-Nawawi menyatakan dalam Syarah Muslim bahwa tidak mungkin Allah SWT menyeru hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat diketahui oleh mereka.
3. Abdurrahman Al-Baqdadi[11]mengatakan bahwa ayat mutayabihat itu mengandung banyak makna sesuai pemahaman bahasa Arab dari sisi uslub-uslub bahasa Arab & sisi makna-makna syar’iy. Hanya saja dinamakan mutasyabihat karena disembunyikan maknanya atas orang yang mendengar, bukanlah berarti bahwa mutasyabihat itu makna yang tidak dapat difahami, karena tidak ada dalam Al-Qur’an sesuatupun yang tidak dapat dipahami maknanya. Karena jika Al-Qur’an mengandung sesuatu yang tidak dapat dipahami, hal itu keluar dari keberadaannya sebagai penjelas bagi manusia & ini menyalahi firman Allah SWT :
هَذَا بَيَانٌ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ لِلْمُتَّقِينَ
(Al-Qur'an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa(QS. Ali Imran [3] : 138)
Dengan demikian adalah keliru mengembalikannya kepada Allah SWT, karena bertentangan dengan ayat yang qath’i yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an merupakan penjelas bagi manusia & bahwa Allah SWT sungguh memudahkan Al-Qur’an untuk dipahami. Berkaitan dengan hal yang demikian, Allah SWT berfirman dalam QS. Ali Imran [3] : 7 yang Dia telah memudahkan pemahaman bagi setiap orang ‘alim (yang mendalam ilmunya). Hingga Ibn Abbas berkata, “Aku termasuk orang yang mendalam ilmunya yang mengetahui ta’wilnya.”

C. Mengkompromikan Dua Pendapat
Jika merujuk kepada makna takwil, maka jelaslah bahwa kedua pendapat dari kedua golongan itu tidaklah terdapat pertentangan. Karena ta’wil mempunyai makna :
1. Bermakna memalingkan sebuah lafadz dari makna yang rajih ke makna yang marjuh karena ada dalil yang menghendakinya. Inilah makna takwil oleh mayoritas ulama muta’akhirin.
2. Bermakna tafsir (menerangkan/menjelaskan) yakni pembicaraan untuk menafsirkan lafadz-lafadz agar maknanya dapat dipahami.
3. Bermakna hakikat yang kepadanya pembicaraan dikembalikan.
Golongan pertama, mengartikan takwil dalam ayat-ayat mutasyabihat ialah takwil dengan pengertian ketiga. Karena itu hakikat zat Allah SWT, esensi-Nya, kaifiyat nama & sifat-Nya serta hakikat hari kemudian, semua itu tidak ada yang mengetahui selain Allah SWT.
Golongan kedua, mengartikan takwil dalam ayat-ayat mutasyabihat ialah takwil dengan pengertian kedua. Jika dikatakan, Mujahid mengetahui yang mutasyabihat, maka maksudnya ialah bahwa ia mengetahui tafsirnya.
Dengan pembahasan ini jelaslah bahwa pada hakikatnya tidak ada pertentangan antara kedua pendapat itu.
Lafazd-lafadz mutasyabihat yang maknanya serupa dengan makna yang kita ketahui didunia, hakikatnya tidaklah sama. Misalnya adalah Asma Allah, sifat-sifat-Nya. Karena hanya Allah SWT yang tahu. Imam Malik pernah ditanya tentang firman Allah SWT :
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah yang Maha Pemurah, yang bersemayam diatas Arsy” (QS. Thaha [20] : 5)
Maka beliau menjawab, “Kaifiyat (hakekat)-nya diluar jangkauan akal manusia, bersemayam itu diketahui sedangkan mengimaninya adalah wajib & menanyakan hakekatnya adalah bid’ah.”
Misal kedua adalah yang berkenaan dengan hari kemudian seperti mizan (timbangan), jannah (kebun), nar (api) & lain-lain. Berita-berita ini harus diyakini & diimani. Harus diyakini yang ghaib itu lebih besar daripada yang nyata & segala apa yang diakhirat adalah berbeda dengan di dunia. Dan takwilnya hanya Allah SWT yang tahu.
Kemudian, mengenai takwil yang pertama adalah takwil yang tercela. Sebagian ulama muta’akhirin mempergunakan dengan tujuan untuk lebih mensucikan Allah SWT dari keserupaan-Nya dengan makhluk seperti yang mereka sangka. Misalnya mentakwilkan kata “yadunullah” dengan “kekuasaan Allah”. Celaan yang dilemparkan ulama salaf & lainnya adalah bagi penakwilan seperti ini yang tidak menurut takwil yang sebenarnya.

D. Hikmah Ayat Mutasyabihat
Hikmah dari adanya ayat mutasyabihat adalah :
1. Menambah pahala karena adanya upaya keras mengungkap maknanya.
2. Memungkinkan kreasi umat sehingga timbul yang namanya madzhab.
3. Memungkinkan timbulnya berbagai ilmu yang dipergunakan untuk menggali hukum.
4. Mempermudah dakwah kepada orang-orang yang tidak menyukai hal-hal yang bersifat abstrak.[]



________________________________________
[1]Ibnu Katsir mengatakan, ”Adapun bila semua redaksi memiliki satu makna, sebagiannya serupa dengan sebagian yang lain, maka redaksi ini dinamakan mutasyabih. Akan tetapi bukan mutasyabih yang dimaksud dalam firman-Nya : “Dialah yang menurunkan Al-Kitab kepadamu .… (Ali Imran [3]: 7).”
[2] Apa Itu Al-Qur’an hal 86, bandingkan dengan Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal 305-306.
[3]‘Ulumul Ushul Fiqh hal 20.
[4] Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal 306-307.
[5] Apa Itu Al-Qur’an hal 91-92.
[6] Lihat Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir jilid I pada pembahasan ayat pertama surah Al-Baqarah.
[7] ‘Ulumul Ushul Fiqh hal 21.
[8]Apa Itu Al-Qur’an hal 87.
[9] Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal 307-308.
[10] Ibnu Katsir sewaktu menjelaskan tafsir ayat ini, katanya, “Dari Ibn Jarir dikatakan : Menurut qira’ah Ibn Mas’ud, ayat itu berarti : Sesungguhnya takwilnya ada pada sisi Allah & para cendekiawan berkata, “Kami beriman kepadanya.” Demikian pula dengan keterangan yang diriwayatkan dari Ubai bin Ka’ab & Ibn Jarir memilih pendapat ini.
[11] ‘Ulumul Ushul Fiqh hal 20-21

0 comments:

Post a Comment