MENU

TA'RIIFU NAFSII

My photo
Call me "James". I was taught and trained since childhood by my parents to be a strong and broad-minded and the adventurous life since childhood I go abroad and learn all the essence of life on earth 'now, I'm still studying in Yogyakarta UIN Sunan Kalijaga INDONESIA.He he,,!

Friday, January 7, 2011

NASIKH DAN MANSUKH


“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.”
(QS. An-Nahl [16] : 101)
NASIKH DAN MANSUKH

A.   Pengantar Awal
Nasikh & mansukh merupakan hal yang harus diketahui oleh mereka yang menekuni kajian hukum-hukum syari’at. Al-Hazimiy mengatakan bahwa cabang ilmu ini merupakan kesempurnaan ijtihad. Karena urgensinya cabang ilmu ini, maka shahabat, tabi’in & ulama sesudahnya memberikan perhatian yang sangat serius terhadapnya.[1]
Ali bin Abi Thalib kw berkata kepada seorang qadli (hakim), “Apakah kamu mengetahui nasikh & mansukh?” Qadli itu menjawab, “Tidak.” Kata Ali kw, “Kamu celaka & mencelakakan.” [2]
Menurut bahasa, naskh berarti :
1.       Izalah (menghilangkan) seperti firman Allah SWT
فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ...
“Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu….” (QS. Al-Hajj [22]: 52)
2.       Memindahkan dari suatu tempat ke tempat lain seperti firman Allah SWT :
إِنَّا كُنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Al-Jatsiyah [45]: 29)

3.       Tabdil (mengganti), seperti firman Allah SWT :

وَإِذَا بَدَّلْنَا ءَايَةً مَكَانَ ءَايَةٍ ...

“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya …”(QS. An-Nahl [16] : 101)

4.       Tahwil (mengalihkan/mengubah)
Menurut istilah, naskh ialah :
1.       ”Mengangkat hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang lain.” [3]
2.       “Mengganti atau merubah hukum syara’ dengan dalil yang turun kemudian.” [4]
3.       “Menjelaskan bahwa masa berlakunya hukum yang terkandung dalam nash yang pertama telah habis.” [5]
4.       Penghapusan oleh Syari’ terhadap suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian.[6]
5.       “Membatalkan hukum yang diambil dari nash terdahulu dengan nash belakangan, atau adalah khitab syar’i yang mencegah dari terus berlansungnya hukum dari khitab syar’i terdahulu.” [7]
Kata nasikh (yang menghapus) dapat diartikan dengan (1) Allah SWT, (2) Ayat dan (3) Hukum yang menghapuskan hukum lain. Sedangkan mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan.
Adapun syarat dalam melakukan naskh adalah :
1.       Hukum yang mansukh adalah hukum syara’.
2.       Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh.
3.       Khitab yang mansukh hukumnya tidak terikat dengan waktu tertentu.
Menurut Abu Zahrah, orang yang pertama kali membahas naskh secara mendalam ialah Imam Syafi’i dalam kitabnya Risalatul Ushul[8].
Ruang lingkup pembahasan naskh adalah :
1.       Terjadi pada perintah & larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita yang bermakna amar atau nahy. Dengan syarat hal itu tidak berhubungan dengan akidah, akhlak, pokok-pokok ibadah & muamalah.
2.       Nask tidak terjadi dalam berita, khabar yang tidak bermakna thalab seperti janji & ancaman.

B.   Cara Menentukan Naskh
Naskh ditentukan dengan cara :
1.       Keterangan tegas dari Rasul SAW atau para shahabat ra.
2.       Kesepakatan (ijma’) shahabat.
3.       Mengetahui mana yang lebih dahulu & mana yang kemudian.
Naskh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufassir atau keadaan dalil-dalil yang secara lahir tampak kontradiktif atau terlambatnya ke-Islaman seorang dari dua rawi.

C.   Seputar Pendapat Mengenai Naskh
Ada empat golongan pendapat yang ada dalam masalah naskh :
1.       Orang Yahudi
Orang Yahudi tidak mengakui adanya naskh, karena naskh mengandung konseb al-bada’ (sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui Allah SWT) seperti orang yang mengemukakan pendapat kemudian baru nampak baginya kesalahannya.[9]
2.       Orang Syi’ah Rafidah
Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan naskh & meluaskannya. Mereka memandang konseb al-bada’ sebagai sesuatu yang mungkin terjadi bagi Allah SWT. Mereka berargumentasi dengan ucapan yang dinisbatkan kepada Ali kw secara palsu & firman Allah SWT :
يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh). (QS. Ar-Ra’d [13] : 39)
dengan pengertian bahwa Allah SWT siap untuk menghapuskan & menetapkan. Paham ini merupakan kesesatan yang dalam.[10]
3.       Abu Muslim Al-Asfahani
Menurutnya secara logika naskh dapat terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara’. Abu Muslim menolak adanya naskh dalam Al-Qur’an dengan argumentasi[11]:
v       Jika ada nasakh, berarti ada ayat-ayat Al-Qur’an yang dibatalkan. Ini bertentangan dengan

لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fusshilat [41]: 42)
v       Beliau menafsirkan QS. Al-Baqarah [2] : 106 dengan berkata bahwa yang dimaksud dengannya adalah menasakh syariat terdahulu. Ayat ini tidak menunjukkan terjadinya nasakh antar ayat Al-Qur’an, melainkan sekedar sebagai pengandaian terjadinya nasakh antar ayat Al-Qur’an.
v       Hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an adalah syari’at yang abadi. Maka tidak layak bila dalam Al-Qur’an terjadi naskh.
v       Kebanyakan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an adalah bersifat kully, bukan juz’i & khusus. Disamping itu Al-Qur’an adalah kitab suci yang menjelaskan syari’at secara global, bukan rinci. Maka tidak layak terjadi naskh.
4.       Jumhur Ulama
Mereka berpendapat naskh adalah suatu hal yag dapat diterima akal & telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’. As-Suyuthi berpendapat bahwa dalam Al-Qur’an terdapat 20 nash yang dinaskh.Adapun argumentasi & dalil yang dikemukan jumhur ulamaadalah[12] :
v       Perbuatan-perbuatan Allah SWT tidak bergantung pada alasan & tujuan. Allah SWT boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu & melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Allah-lah yang mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
v       Nash-nash Al-Qur’an menunjukkan kebolehan nasakh seperti :

وَإِذَا بَدَّلْنَا ءَايَةً مَكَانَ ءَايَةٍ ...

“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya …”(QS. An-Nahl [16] : 101)
مَا نَنْسَخْ مِنْ ءَايَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا...
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya…”(QS. Al-Baqarah [2] : 106)
Dan adanya nasakh itu sendiri pada nash Al-Qur’an seperti dalam masalah perubahan kiblat & masalah waktu iddah isteri yang ditinggal mati suaminya.
v       Nash sunnah menunjukkan adanya naskh yaitu :
Sebuah hadist shahih dari Ibnu Abbas ra, Umar ra berkata :
“Yang paling paham & paling menguasai Qur’an diantara kami adalah Ubay. Namun demikian, kami pun meninggalkan sebagian perkataannya, karena ia mengatakan : Aku tidak akan meninggalkan sedikit pun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah SAW. Padahal Allah telah berfirman : “Apa saja ...” (Al-Baqarah [2] : 106).”

D.   Pembagian Naskh
Naskh terbagi atas empat bagian :
1.       Naskh Qur’an dengan Qur’an
Golongan yang menyatakan adanya naskh sepakat membolehkannya & hal ini telah terjadi.
2.       Naskh Qur’an dengan Hadits
  1. Naskh dengan Hadits Mutawwatir. Hal ini diperbolehkan oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah & Imam Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing adalah wahyu. Mereka berdalil dengan :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى(3)إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm [53] : 3–4)
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Keterangan-keterangan (mu`jizat) & kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl [16] : 44)
Argumentasi jumhur diperkuat dengan contoh penasakhan dalam hal wasiat & hukuman bagi penzina.[13]
Namun Imam Syafi’i, Ahli Zahir & Imam Ahmad dalam riwayat lain, menolak[14]. Mereka berdalil dengan :
مَا نَنْسَخْ مِنْ ءَايَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu ?”(QS. Al-Baqarah [2] : 106)
وَإِذَا بَدَّلْنَا ءَايَةً مَكَانَ ءَايَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata : "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.” (QS. An-Nahl [16] : 101)
يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Ar-Ra’d [13] : 39)
dengan menyatakan bahwa hadits tidak lebih baik dari atau tidak sebanding dengan Al-Qur’an.[15]
b.       Naskh dengan Hadits Ahad. Jumhur tidak membolehkan karena Al-Qur’an adalah mutawwatir yang bersifat yakin sedang hadits ahad adalah dzanni bersifat dugaan. Menurut Abu Zahrah,[16] Ibn Hazm Al-Andalusi berpendapat boleh. Karena semua hadits adalah qath’i termasuk hadits ahad juga qath’i.
3.       Naskh Hadits dengan Qur’an
Jumhur membolehkan. Contohnya :
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ....
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya…” (QS. Al-Baqarah [2] : 144)
yang menasakh menghadap Baitul Maqdis dalam shalat. Juga firman Allah SWT :
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر َ...
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia & penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu & pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. …”(QS. Al-Baqarah [2] : 185)
yang menasakh kewajiban puasa ‘Asyura. Tetapi Imam Syafi’i[17] berpendapat, “Sunah Rasulullah SAW hanya hanya dapat dinaskh oleh sunnah itu sendiri.”[18]
4.       Naskh Hadits dengan Hadits
Naskh seperti ini ada empat diantaranya : (1) Mutawwatir dengan mutawwatir, (2) Ahad dengan Ahad, (3) Ahad dengan Mutawwatir & (4) Mutawwatir dengan Ahad. Tiga bentuk pertama diperbolehkan sedangkan bentuk keempat terjadi silang pendapat, namun jumhur ulama tidak membolehkan.

E.   Macam-macam Naskh dalam Al-Qur’an
Ada tiga macam naskh :
1.      Ayat yang dinaskh tilawah & hukumnya. Contohnya :
Dari Aisyah yang mengatakan, “Diantara ayat yang pernah diturunkan ialah ‘sepuluh susuan yang dikenal’, kemudian dihapuskan dengan ‘lima susuan’. Ketika Rasulullah SAW nash itu termasuk apa yang dibaca dari Al-Qur’an.”(HR. Bukhari & Muslim)
2.       Ayat yang dinaskh hukumnya tetapi tilawahnya tetap. Yang seperti ini banyak dibahas walaupun jumlahnya sedikit. Hikmah naskh seperti ini adalah :
a.       Untuk tidak menghilangkan pahala membacanya sebagai kalamullah.
b.       Mengingatkan akan nikmat dihapuskan kesulitan oleh Allah SWT.
3.       Ayat yang dinaskh tilawahnya tetapi hukumnya tetap. Contohnya adalah ayat rajam, ayat mengenai korban Bi’ru Ma’unah. Hikmah naskh seperti ini adalah untuk membuktikan sejauh mana keta’atan umat dalam berkorban tanpa banyak bertanya.
Jenis nasakh pertama & ketiga sebagian ulama menafikan terjadinya. Dan menurut saya, pendapat ini yang kuat. Mereka menyatakan bahwa hal itu tidak terjadi karena ayat-ayat yang dianggap dinasakh bacaannnya itu tidaklah bersifat qathi dari sumbernya. Sehingga ia bukanlah tilawah Al-Qur’an yang dinasakh.

F.   Hikmah Naskh
Adapun hikmah dari adanya naskh adalah :
1.       Memelihara kepentingan hamba.
2.       Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah & perkembangan kondisi umat.
3.       Cobaan & ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
4.       Menghendaki kebaikan & kemudahan bagi umat.

G.   Naskh Berpengganti & Tidak Berpengganti
1.       Naskh tanpa badal. Misalnya :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Mujadalah [58] : 12)
dinaskh oleh :
ءَأَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Mujadalah [58] : 13)
Maka ketiadaan hukumadalah lebih baik daripada eksistensi hukum yang dihapus itu dari segi kemanfa’atan-nya bagi manusia.
2.       Naskh dengan badal akhaff
Yakni menaskh dengan pengganti yang lebih ringan. Misalnya :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2] : 183)
dinaskh oleh :
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ....
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma`af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid…”(Al-Baqarah [2] : 187)
3.       Naskh dengan badal mumasil
Yakni menaskh dengan pengganti yang sebanding. Misalnya shalat menghadap Baitul Maqdis dinaskh dengan :
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْرَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2] : 144)
4.       Naskh dengan badal asqal
Yakni menaskh dengan pengganti yang lebih berat.
وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya.” (QS. An-Nisa’ [4] : 15)
dinaskh dengan QS. An-Nuur [24] : 2 ataupun hukum rajam.
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Perempuan yang berzina & laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah & hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.”(QS. An-Nuur [24] : 2)

H.   Sikap Ulama terhadap Naskh
Sewaktu menentukan nasakh, ulama ada yang hati-hati dengan mendasarkan masalah nasakh ini hanya pada penukilan yang shahih semata. Namun ada yang berlebih-lebihan karena masalah ini kabur baginya. Sumber kekaburan itu antara lain :
1.       Menganggap takhsis (pengkhususan) sebagai nasakh.
2.       Menganggap bayan (penjelasan) sebagai naskh.
3.       Menganggap suatu ketentuan yang disyari’atkan karena sesuatu sebab yang kemudian sebab itu hilang (dan secara otomatis ketentuan itu hilang), sebagai mansukh. Misalnya adanya anggapan bahwa perintah bersabar & tabah terhadap gangguan orang kafir pada masa awal dakwah dinasakh dengan perintah perang.
4.      Menganggap syari’at umat terdahulu yang dibatalkan Islam sebagai naskh. Misalnya pembatasan jumlah isteri menjadi empat yang sebelumnya tidak terbatas.
˜™


[1]Ushul Al-Hadits hal 259.
[2]Apa Itu Al-Qur’an hal 103.
[3] Manna’ Khalil Al-Qattan, dalam Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal 326.
[4]M. Abu Zahrah,dalam Ushul Fiqh hal 283.
[5]Ibnu Hazm, dalam An-Nasikh wal Mansukh yang dikutib dalam Ushul Fiqh hal 283-284.
[6]M. ‘Ajaj Al-Khatib, dalam Ushul Al-Hadits hal 258.
[7]Imam Taqiyudin An-Nabhani, dalam Syakhshiyyah Al-Islamiyah III hal 266.
[8] Ushul Fiqh hal 283.
[9] Apa Itu Al-Qur’an hal 104.
[10] Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal 331-332.
[11] Ushul Fiqh hal 300-301 & Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an 1 hal198-199.
[12] Lihat Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal 333-334 & Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an 1 hal 199-203.
[13]Lihat Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an 1 hal 207-208.
[14]Imam Taqiyuddin An-Nabhani juga menolak nasakh Al-Qur’an dengan Al-Hadits. (Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah III hal 273) Namun beliau menerima nasakh Al-Hadits oleh Al-Qur’an. (Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah III hal 275)
[15] Lihat Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal 334-335 & Ushul Fiqh hal 303-304. Kejelasan dari hujah Imam Safi’i ini dibahas secara detail dalam Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an 1 hal 206-207.
[16] Ushul Fiqh hal 305.
[17]Ushul Fiqh hal 305-307.
[18] Imam Syafi’i mengatakan bahwa jika apa yang dikerjakan Rasulullah SAW dapat dinaskh oleh Al-Qur’an, niscaya akan menimbulkan kesan bahwa apa yang Rasul SAW kerjakan selama ini telah dinaskh Al-Qur’an. Dengan demikian semua hadits Rasul SAW dapat ditolak. (Ushul Fiqh hal 305-307) Lihat juga pembahasan masalah ini dalam Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an 1 hal 205-208.

0 comments:

Post a Comment